Minggu, 23 November 2008

Seks Remaja

CIREBON, (Pikiran Rakyat).- Perilaku seks bebas yang diperlihatkan remaja Jawa Barat (Jabar) berusia 19-24 tahun, sangat memprihatinkan. Survei yang dilakukan BKKBN didapatkan hasil 40% remaja berusia 15-24 tahun telah mempraktikkan seks pranikah. Hasil survei tersebut dikutip Ketua Divisi Pemuda Aliansi Selamatkan Anak Indonesia (ASA) Arif Srisardjono pada diskusi panel “Pengembangan Kesadaran Pemuda Terhadap Faktor Destruktif Melalui Gerakan Anti Pornografi dan Pornoaksi” di Islamic Center, Selasa (10/7).

“Hasil survei yang fantastis tersebut dilakukan pada tahun 2002 terhadap 2.880 remaja. Dan bisa dipastikan tahun 2007 sekarang ini, hasilnya jauh lebih fantastis lagi,” katanya.

Prediksi tersebut, menurut dia, didasarkan kepada survei Yayasan Kita dan Buah Hati tahun 2005 di Jabodetabek didapatkan hasil lebih dari 80% anak-anak usia 9-12 tahun telah mengakses materi pornografi. Ditambah lagi, saat ini paling tidak ada 4,2 juta situs porno di dunia maya.

“Apalagi sekarang tayangan acara televisi banyak yang sedemikian vulgar memperlihatkan pornografi dan pornoaksi dalam berbagai bentuknya. Padahal anak dan remaja sangat rawan terhadap pengaruh tayangan dan tontonan kekerasan dan pornografi,” kata Arif.

Diskusi yang digelar oleh Kemenegpora bekerja sama dengan Kesbangpol Kota Cirebon menghadirkan tiga narasumber. Selain sosiolog dari STAIN Cirebon Prof. Dr. Ali Abdullah, M.A. diskusi juga menghadirkan Arif Srisardjono, S.Sos. dan Shakina Mirfa Nasution, S.E.,M.App.Fin. dari ASA.

Diskusi panel beberapa kali menayangkan rekaman sinetron yang disiarkan sejumlah stasiun televisi swasta, dalam jam-jam prime time maupun siang hari, soal perilaku remaja sekarang yang cenderung mempraktikkan seks bebas.

Menurut ketiga narasumber, perilaku seks bebas di kalangan remaja belakangan ini semakin menggejala. Hal itu semakin diperparah oleh tayangan pornografi dan porno-aksi di hampir seluruh stasiun televisi swasta.

“Semua pihak seharusnya menyadari akan bahaya pornografi dan pornoaksi dalam kehidupan sosial dan perkembangan jiwa anak-anak. Jangan ada lagi upaya melegal-kan pornografi dan pornoaksi dengan dalih budaya. Porno-grafi tetaplah pornografi,” kata Abdullah Ali.

Melebihi Kokain

Menurut Shakina, kerusakan otak yang diakibatkan oleh pornografi yang dilihat, didengar, dan dirasakan, melebihi kokain. “Enam jenis hormon diaktifkan pada hubungan pasangan yang sudah menikah. Kini hormon tersebut diaktifkan pada anak dan tanpa pasangan,” katanya.

Selain itu, ujarnya, dampak psiko-sosialnya juga sangat memprihatinkan dari mulai adiksi (ketagihan), eskalasi perilaku seksual menyimpang (lesbian, incest, pedophilia dll.), desensitisasi (mengu-rangi sensitivitas) yang berujung kepada tindakan (acting out), serta runtuhnya nilai-nilai agama, moral, tatanan ke-luarga, budaya, dan Pancasila.

“Dan masih banyak lagi dampak buruk dari pornogra-fi. Menurut psikolog Elly Risman, materi pornografi dapat membangun mental model yang pornografis,” katanya.

Sementara itu, di sisi lain regulasi dan penegakan hukum kasus-kasus porno-grafi sangat lemah, terutama menyangkut anak-anak. “UU Perlindungan Anak sendiri, tidak mengatur pornografi pada anak ataupun membatasi akses anak pada pornografi. Kondisi tersebut semakin diperparah oleh UU Pers dan UU Penyiaran yang juga tidak secara langsung mengatur pornografi,” ujarnya.

Terkait dengan hal itu, ASA menuntut segera diundangkannya UU Pornografi yang memberikan perlindungan kepada anak dan remaja. UU tersebut juga harus mengakomodasi klausul khusus tentang perlindungan anak dari pemanfaatan dalam produksi pornografi. (A-92)***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

mana video bokepnya?